KETIKA ROCK & ROLL MENYELAMATKAN HIDUPMU
KETIKA ROCK & ROLL MENYELAMATKAN HIDUPMU

Ulasan Blinded By The Light

Oleh: Donny Anggoro

 

Apa rasanya jika ayahmu otoriter, tak mendukung cita-citamu, plus kamu sering kena diskriminasi warga sekitar karena kamu anak imigran? Kamu belum punya penghasilan sendiri, seorang muslim di negara Barat, sekaligus “ditolak” pergaulan karena mendengarkan Bruce Springsteen sementara di sekitarmu sedang tergila-gila dengan Tiffany, Debbie Gibson, Pet Shop Boys, Level 42, sampai The Smiths?

Demikian, sekelumit problema yang melingkupi tokoh utama film berdurasi 117 menit ini. Sepintas ini tentang kisah remaja era 1980-an, tepatnya pada tahun 1987-88 yang tengah bergumul dengan diri sendiri. Nyatanya film ini dengan lincah jauh bicara dari sekedar persoalan “mencari jati diri”.  

Dengan latar belakang Inggris era yang masih bergolak ketegangan antara rakyat yang konservatif dan sangat mengagungkan “white supremacy” dengan kaum liberal, Javed (Viveik Kalra) terjerembab di masa tersebut, sebagai korban “bullying” (perundungan) baik di jalanan luar rumahnya maupun di sekolah. Teman pertamanya di Luton adalah Roops, seorang Singh yang mengenalkannya kepada koleksi kaset pita Bruce Springsteen. Javed yang tengah gundah gulana perlahan merasa menemukan hidupnya kembali setelah mendengarkan lagu Springsteen di perangkat walkman-nya.

Sampai di sini seolah film akan dibawa sutradara menjadi komedi situasi ala  School of Rock, atau film seri TV musikal Glee, atau Rock of Ages yang dibintangi Tom Cruise. Sebab, Javed dan Roops digambarkan sering bersama menyanyikan lagu Springsteen. Nyatanya tidak, karena cerita fokus pada biografi Javed yang ketika dewasa dikenal sebagai penulis dan jurnalis Inggris peranakan Pakistan, Sarfraz Manzoor.

Ada sedikit kesamaan mengapa setelah menonton film ini saya jadi teringat Persepolis dan Interpreter of Maladies yang diangkat dari buku karya Jumpha Lahiri: ”nyawa” film atau bukunya sama-sama tentang perjuangan mencari jati diri seorang imigran di negeri Barat. Satrapi imigran Iran, Javed asal Pakistan, sedangkan Lahiri kelahiran Bengali, India.

Ketiganya semula adalah buku yang sukses mencuri perhatian publik Barat  dengan masing-masing pengalaman gegar budaya yang tidak melulu dibuat dengan melodramatis. Di sana sini terselip humor, juga ironi. Itulah pula yang terjadi pada film ini.

 

Film ini diangkat dari memoir Javed, Greetings from Bury Park (2008), yang konon juga memukau publik pecinta buku di Eropa. Javed alias Manzoor juga berperan menulis skrip film yang disutradarai Gurinder Chadha (sutradara asal Kenya, semula dikenal lewat film Bend it Like Beckham).

Yang menarik adalah penggambaran  benak Javed dengan animasi penggalan lirik lagu Springsteen jika ia sedang meihat atau mengamati sesuatu. Berbekal pengalaman mengasosiasikan amatan dirinya dengan lagu, esai panjang pertama Javed yang dimuat di majalah sekolah adalah pengalamannya “membedah” lagu Springsteen. Esei itu juga (setelah ia sempurnakan lagi) yang membawanya mendapat perhatian memenangkan lomba menulis esei lantaran dianggap juri mampu memberi sisi lain seorang imigran  terhadap produk budaya massa asal Amerika.

Javed adalah sosok yang begitu keras mencapai cita-citanya sebagai penulis. Apalagi di sekitarnya hanya ada Mr.Evans, tetangganya, dan guru bahasa Inggrisnya di Luton, Ms. Clay yang terus memberinya dorongan agar tak ragu menulis. Upayanya berhasil ketika esainya menang lomba menulis hingga ia meraih beasiswa ke Amerika selain kesempatan magang di sebuah kantor majalah terkemuka. Tapi, hal ini malah bertentangan dengan cita-cita ayahnya yang ingin Javed jadi pebisnis, direktur, atau agen properti rumah mewah.

Javed juga punya teman, Matt, yang sedang merintis band beraliran new wave. Matt selalu mengejek syair Javed yang sering ditawarkan kepadanya untuk dijadikan lagu sebagai “terlalu personal, karena selalu menceritakan konflik pribadinya dengan ayah”. Javed sempat putus asa tapi ia terus berjuang menulis selain puisi: esai adalah saluran lain kepenulisannya.

Meski mengusung banyak problem si tokoh utama, cerita juga berlatar belakang kepada masalah sosial yang terjadi saat itu di Inggris.  Tengoklah ketika ayah Javed kena PHK massal karena krisis ekonomi sehingga Javed mau tak mau harus berupaya mencari uang untuk membantu perekonomian keluarga, salah satunya harus pandai membagi waktu kerja dengan sekolah.  

Secara keseluruhan film ini sangat unggul dalam teknik penceritaan yang lancar. Berkali-kali sutradara “berhasil” mengecoh saya film ini kelak akan mengagungkan sosok Springsteen sebagai inspirator Javed. Nyatanya tidak, lantaran sutradara tetap setia pada inti cerita, yaitu biografi Javed merintis karier sebagai penulis.

Film ini sungguh menarik lantaran memberi contoh bahwa dengan beragamnya konflik tokoh utama bukan berarti sutradara keteteran merangkai kisah. Justru terlihat sutradara demikian sabar menyusun plot sehingga porsinya menjadi seimbang antara tak terlalu cepat atau lambat, satu hal yang di masa kini terkadang terasa “ngeri-ngeri sedap”. Sering kita jumpa, film yang maunya banyak, tapi gagal menyampaikan apa-apa karena kehilangan fokus.

Inti film ini, yakni himpitan masalah seorang migran antara “gegar budaya” dan “mencari jati diri”, berhasil diselesaikan sutradara menjadi film yang mampu memaku penonton hingga selesai, meskipun Anda bukan fans Bruce Springsteen sekalipun! ***

 

Blinded By The Light (2019)

Sutradara: Gurinder Chadha. Produser: Jane Barclay, Gurinder Chadha, Jamal Daniel. Skenario: Paul Mayeda Berges, Gurinder Chadha, Sarfraz Mansoor. Pemeran: Viveik Kaira, Kulvinder Ghir, Meera Ganatra, Nell Williams. Musik: A.R. Rahman. Produksi: New Line Cinema. Durasi: 117 menit.  
18 Februari 2020
Dilihat sebanyak
3246 Kali
Lainnya...
GHIBAH: EKSPRESI HOROR YANG MADANI
GHIBAH: EKSPRESI HOROR YANG MADANI
MENGUAK RASISME DALAM TEKNOLOGI, Ulasan Coded Bias
MENGUAK RASISME DALAM TEKNOLOGI, Ulasan Coded Bias
MEKKAH I*M COMING: Bermain dengan Kebohongan
MEKKAH I*M COMING: Bermain dengan Kebohongan
 1 2345     >>>
Pabrikultur © 2015